Rabu, 13 Maret 2024

Sikap Muslim Sejati di Bulan Ramadhan

 

Setiap muslim sadar bahwa sebagai puncak tertinggi khidmat dirinya terhadap Tuhannya adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam kondisi apapun, di manapun dan kapanpun, dengan sepenuh hati dilaksanakan atas dasar Lillahi Ta’ala, karena ia meyakini sebagai muslim yang sejati ia faham bahwa ada perintah yang sifatnya dharuri (tanpa perlu dipertanyakan) perintah tersebut diantaranya adalah puasa di bulan Ramadhan. Puasa merupakan perintah mendasar bagi seorang muslim setelah shalat dan zakat. Puasa memiliki urgensi yang sangat vital dalam kehidupan seorang muslim. Terlebih dalam mengokohkan jiwanya untuk mengendalikan nafsu syahwat yang bersarang dalam dirinya. Jika kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi, maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bershabar. Oleh sebab itu disebutkan dalam sebuah Hadits:

اَلصَوْمُ نِصْفُ الصَبْرِ

Puasa adalah separuh kesabaran.” (HR.Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah)

            Allah juga telah menjadikan puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat taqwa, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah/2:183:

يأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah/2:183)

Taqwa adalah tuntunan Allah kepada para hamba. Taqwa merupakan level tertinggi bagi keimanan seseorang. Di antara banyaknya amalan, maka amalan puasa adalah salah satu jalan untuk mencapai derajat taqwa di sisi Allah SWT. 

            Agar puasa kita mampu mengantarkan kita pada kemuliaan taqwa, maka perlu diperhatikan rahasia yang terkandung dari perintah puasa ini beserta syarat-syarat bathin yang mengikutinya. Ketahuilah bahwa puasa itu ada beberapa tingkatan ditinjau dari tingkatan orang yang melakukan puasa;

1. Puasa awam

2. Puasa khawas

3. Puasa khawasul khawas

Puasa awam adalah puasa nya orang yang hanya sekedar menahan haus dan lapar menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat. Puasa khawas adalah puasa yang bukan saja menahan dari makan dan minum namun juga menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kai dan semua anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan puasa khawasul khawas adalah puasa hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga; juga menahan hati dari selain Allah secara total, puasa ini merupakan puasanya tingkatan para Nabi dan Rasul, shiddiqin dan muqorrobin.

            Adapun puasa yang bisa kita ikhtiarkan agar menjadi tingkatan puasa khawash, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1.       Menundukkan pandangan dan menahannya dari memandang pada hal yang diharamkan oleh Allah SWT.

2.       Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran dan perdebatan; mengendalikannya dengan diam  dan menyibukkannya dengan dzikrullah dan tilawah Qur’an.

Nabi SAW bersabda:

اِنَّمَا الصَوْمُ جُنَّةٌ فَاِذَا كَانَ اَحَدُكُمْ صَاءِمًا فَلاَيَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَاِنِ مْرُؤٌ قَتَلَهُ اَوْ شَتَمَهُ فَلْيَقُلْ اِنِّيْ صَاءِمٌ اِنِّيْ صَاءِمٌ

Sesungguhnya puasa itu tidak lain adalah perisai; apabila salah seorang diantara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan pula bertindak bodoh; dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau mencacinya maka hendaklah ia mengatakan bahwa sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim)

3.       Menahan pendengaran dari mendengarkan setiap hal yang dibenci (makruh), karena setiap yang diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarkannya. Oleh sebab itu Allah menyamakan antara orang yang mendengarkan dan orang yang memakan yang haram. Firman Allah : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (Q.S. Al-Maidah/5:42)

4.       Menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbuat dosa; seperti menahan tangan dan kaki dari hal-hal yang dibenci, menahan perut dari berbagai syahwat. Tidak ada artinya berpuasa dengan menahan dari makan yang halal namun berbuka puasa dengan barang yang haram missal makan dari harta hasil korupsi atau dari barang yang mengandung unsur riba. Barang yang haram adalah racun yang menghancurkan dan barang yang halal adalah obat yang bermanfaat.

5.       Tidak memperbanyak makanan yang halal saat berbuka puasa sampai penuh perutnya. Karena tidak ada wadah yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang terlalu penuh dengan makanan kendati halal.

6.       Hendaknya setelah berbukahendaknya hatinya penuh harap dan cemas apakah puasanya diterima atau tidak, diriwayatkan dari Imam Hasan bin Abu Hasan al Bashri bahwa ia melewati satu kaumyang Tengah tertawa, lalu ia berkata; “sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi hamba-Nya, kemudian ada orang yang berlomba hingga menang ada pula orang-orang yang tertinggal dan kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan adalah pemain yang tertawa-tawa di saat orang-orang berpacu meraih kemenangan.”

Seorang muslim yang sejati tentunya akan menjadikan Ramadhan ini sebagai momentum untuk meraih rahmat Allah agar mencapai kemenangan kelak di hari fitri dan ia menyadari bahwa puasa ini merupakan Amanah yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab terhadap Allah SWT. Karena nya minimal tiga amalan selama berpuasa akan ia laksanakan; yakni memperbanyak shalat sunah, memperbanyak dzikir dan tilawah serta memperbanyak sedekah.

Muslim sejati pada bulan Ramadhan ini akan merayakan kebahagiaan karena puasanya sebagai sabda Nabi SAW:

لِلصَّاءِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ اِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Dua kebahagiaan yang akan diraih oleh orang yang berpuasa yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan satu kebhagiaan lagi adalah ketika kelak bertemu dengan Rabbnya pada hari kiamat.”

 

 

Semoga bermanfaat, jika ada salah atau masukan dengan senang hati akan saya terima

Jazakumullah khair

 

Sumber Referensi:

Said Hawa, Intisari Ihya Ulumuddin, 1999 Rabbani Press

Kitab Turats, Tanbihul Ghafilin, Syirkah nur Asia

 


Tidak ada komentar: