Setiap muslim sadar bahwa sebagai puncak tertinggi khidmat dirinya
terhadap Tuhannya adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya dalam kondisi apapun, di manapun dan kapanpun, dengan sepenuh hati
dilaksanakan atas dasar Lillahi Ta’ala, karena ia meyakini sebagai muslim yang
sejati ia faham bahwa ada perintah yang sifatnya dharuri (tanpa perlu
dipertanyakan) perintah tersebut diantaranya adalah puasa di bulan Ramadhan.
Puasa merupakan perintah mendasar bagi seorang muslim setelah shalat dan zakat.
Puasa memiliki urgensi yang sangat vital dalam kehidupan seorang muslim.
Terlebih dalam mengokohkan jiwanya untuk mengendalikan nafsu syahwat yang
bersarang dalam dirinya. Jika kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi,
maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bershabar. Oleh sebab itu disebutkan
dalam sebuah Hadits:
اَلصَوْمُ
نِصْفُ الصَبْرِ
“Puasa adalah separuh kesabaran.” (HR.Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu
Majah)
Allah
juga telah menjadikan puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat taqwa,
sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah/2:183:
يأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas
kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.
(Q.S. Al-Baqarah/2:183)
Taqwa adalah tuntunan Allah kepada para hamba.
Taqwa merupakan level tertinggi bagi keimanan seseorang. Di antara banyaknya
amalan, maka amalan puasa adalah salah satu jalan untuk mencapai derajat taqwa
di sisi Allah SWT.
Agar puasa kita mampu
mengantarkan kita pada kemuliaan taqwa, maka perlu diperhatikan rahasia yang
terkandung dari perintah puasa ini beserta syarat-syarat bathin yang
mengikutinya. Ketahuilah bahwa puasa itu ada beberapa tingkatan ditinjau dari
tingkatan orang yang melakukan puasa;
1. Puasa awam
2. Puasa khawas
3. Puasa khawasul khawas
Puasa awam adalah puasa nya orang yang hanya sekedar
menahan haus dan lapar menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat.
Puasa khawas adalah puasa yang bukan saja menahan dari makan dan minum namun
juga menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kai dan semua anggota
badan dari berbagai dosa. Sedangkan puasa khawasul khawas adalah puasa hati
dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga;
juga menahan hati dari selain Allah secara total, puasa ini merupakan puasanya
tingkatan para Nabi dan Rasul, shiddiqin dan muqorrobin.
Adapun
puasa yang bisa kita ikhtiarkan agar menjadi tingkatan puasa khawash, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Menundukkan pandangan dan menahannya dari
memandang pada hal yang diharamkan oleh Allah SWT.
2. Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah,
gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran dan perdebatan;
mengendalikannya dengan diam dan
menyibukkannya dengan dzikrullah dan tilawah Qur’an.
Nabi SAW bersabda:
اِنَّمَا الصَوْمُ جُنَّةٌ فَاِذَا كَانَ اَحَدُكُمْ
صَاءِمًا فَلاَيَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَاِنِ مْرُؤٌ قَتَلَهُ اَوْ شَتَمَهُ
فَلْيَقُلْ اِنِّيْ صَاءِمٌ اِنِّيْ صَاءِمٌ
“Sesungguhnya puasa itu tidak lain adalah perisai; apabila
salah seorang diantara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor dan
jangan pula bertindak bodoh; dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau
mencacinya maka hendaklah ia mengatakan bahwa sesungguhnya aku berpuasa,
sesungguhnya aku berpuasa (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim)
3. Menahan pendengaran
dari mendengarkan setiap hal yang dibenci (makruh), karena setiap yang
diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarkannya. Oleh sebab itu Allah
menyamakan antara orang yang mendengarkan dan orang yang memakan yang haram.
Firman Allah : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan yang haram.” (Q.S. Al-Maidah/5:42)
4. Menahan berbagai
anggota badan lainnya dari berbuat dosa; seperti menahan tangan dan kaki dari
hal-hal yang dibenci, menahan perut dari berbagai syahwat. Tidak ada artinya
berpuasa dengan menahan dari makan yang halal namun berbuka puasa dengan barang
yang haram missal makan dari harta hasil korupsi atau dari barang yang
mengandung unsur riba. Barang yang haram adalah racun yang menghancurkan dan
barang yang halal adalah obat yang bermanfaat.
5. Tidak memperbanyak
makanan yang halal saat berbuka puasa sampai penuh perutnya. Karena tidak ada
wadah yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang terlalu penuh dengan
makanan kendati halal.
6. Hendaknya setelah
berbukahendaknya hatinya penuh harap dan cemas apakah puasanya diterima atau
tidak, diriwayatkan dari Imam Hasan bin Abu Hasan al Bashri bahwa ia melewati
satu kaumyang Tengah tertawa, lalu ia berkata; “sesungguhnya Allah menjadikan
bulan Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi hamba-Nya,
kemudian ada orang yang berlomba hingga menang ada pula orang-orang yang
tertinggal dan kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan adalah pemain yang
tertawa-tawa di saat orang-orang berpacu meraih kemenangan.”
Seorang muslim yang sejati tentunya akan
menjadikan Ramadhan ini sebagai momentum untuk meraih rahmat Allah agar
mencapai kemenangan kelak di hari fitri dan ia menyadari bahwa puasa ini
merupakan Amanah yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab terhadap
Allah SWT. Karena nya minimal tiga amalan selama berpuasa akan ia laksanakan;
yakni memperbanyak shalat sunah, memperbanyak dzikir dan tilawah serta
memperbanyak sedekah.
Muslim sejati pada bulan Ramadhan ini akan
merayakan kebahagiaan karena puasanya sebagai sabda Nabi SAW:
لِلصَّاءِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ اِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ
لِقَاءِ رَبِّهِ
”Dua kebahagiaan yang akan diraih oleh orang yang berpuasa
yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan satu kebhagiaan lagi adalah ketika
kelak bertemu dengan Rabbnya pada hari kiamat.”
Semoga bermanfaat, jika ada salah atau masukan
dengan senang hati akan saya terima
Jazakumullah khair
Sumber Referensi:
Said Hawa, Intisari Ihya Ulumuddin, 1999 Rabbani
Press
Kitab Turats, Tanbihul Ghafilin, Syirkah nur
Asia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar